Walhi: Kecelakaan Cirebon bukti pengendalian tambang Jawa barat belum serius
Sarana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat mengutarakan kedukaan atas kecelakaan tambang di Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, yang terjadi kemarin, dan memandang ini bukti belum sungguh-sungguhnya pengendalian tambang di Jawa barat.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa barat, Wahyudin Iwang menjelaskan kejadian yang mengambil belasan nyawa itu, adalah bukti riil dari masih jeleknya tata urus pertambangan dan kurang kuatnya pemantauan peraturan tambang di Jawa barat, ingat peristiwa itu bukan salah satu kejadian.
“Gunung Kuda bukan salah satu kejadian yang makan korban jiwa. Ini memperlihatkan jika praktek tambang di Jawa Barat masihlah jauh dari professional dan abai pada standard keselamatan,” kata Iwang saat dikontak di Bandung, Minggu.
Menurut penilaian Walhi Jawa barat, Iwang menjelaskan, banyak dari aktor usaha tambang yang cuma jadikan document hal pemberian izin sebagai normalitas legal untuk jalankan bisnis, bukan sebagai tutorial khusus dalam praktek operasinya.
Walau sebenarnya, sebut Iwang, document hal pemberian izin yang seharusnya meliputi juga Analitis Imbas Lingkungan (AMDAL) dan laporan periodik seperti Gagasan Pengendalian Lingkungan (RKL) dan Gagasan Pengawasan Lingkungan (RPL) harus jadi perhatian dan digerakkan benar oleh beberapa aktor usaha termasuk penilaiannya.
Di lain sisi, Iwang mengutamakan pemerintahan semestinya benar-benar memantau kecocokan document dan praktek di atas lapangan, dan jangan cuma melakukan tindakan sesudah kejadian terjadi seperti kecondongan sejauh ini.
“Apa aktor usaha betul-betul jalankan kewajiban membuat laporan semesteran? Apa pemerintahan betul-betul memantau kecocokan di antara praktek di atas lapangan berisi document? Ini yang tidak terang dan lepas dari pemantauan. Kecondongannya demikian ada korban, baru kewalahan. Ini cerminan peranan kontrol pemerintahan kurang kuat dan harus diperbarui,” katanya.
Berkaitan tambang di Gunung Kuda Cirebon, Iwang memperjelas tidak dengan status ilegal, dan mereka mempunyai beragam ijin. Namun, rupanya ada ketidaksamaan di antara document dan prakteknya. Seperti, pemakaian alat berat yang tidak sesuai dengan sampai jam operasional yang melewati batasan, sering terjadi tanpa pemantauan bermakna dari pemerintahan.
“Maknanya ini punyai ijin, tetapi tidak berarti prakteknya sama sesuai isi document. Contohnya dalam document disebut alat yang dipakai ialah A, bekerja delapan jam satu hari, tetapi di atas lapangan gunakan alat B dan bekerja 24 jam non-stop. Siapakah yang memantau itu? Semestinya pemerintahan,” katanya.
Di lain sisi, kata Iwang, faksinya menulis ada kenaikan krusial dalam kegiatan pertambangan ilegal di beberapa daerah Jawa Barat bersamaan keluarnya ketentuan baru dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengenai penentuan Daerah Pertambangan dan Daerah Pertambangan Masyarakat (WPR), khususnya di daerah Selatan Jawa barat seperti Garut, Sukabumi, Cianjur, sampai Pangandaran di mana bukit-bukit dan pegunungan menjadi target khusus.
Adapun di Gunung Kuda, Iwang menjelaskan dengan tata ruangan teritori itu diputuskan sebagai zone pasir dan batu (sirtu), namun bukit itu mempunyai bukti dalam peranan ekologis, yaitu penting sebagai teritori serapan dan penyuplai cadangan air untuk warga sekitaran.
“Bila terus dieksplorasi, peranan ekologisnya akan rusak. Kami telah lama mereferensikan supaya tambang di situ disetop dan dilaksanakan reforestasi,” kata Iwang.
Iwang mengutamakan tanggung-jawab atas kerusakan lingkungan dan korban jiwa tidak dapat cuma diterpakan pada perusahaan, namun pemerintahan mempunyai tanggung-jawab termasuk atas rekondisi sosial dan kepribadian keluarga korban karena berperanan dalam pemberian ijin dan referensi aktivitas itu, dan yang kurang kuat ialah penegakan hukum dan pemantauannya.
“Walau sebenarnya, peraturan Indonesia termasuk Jawa barat (masalah tambang) lumayan baik, termasuk karena ada ketetapan tanggung-jawab sosial dan lingkungan (TJSL), ketaatan laporan, sampai ancaman untuk pelanggar. Tetapi sejauh ini peraturan cuma di kertas. Tidak ada penegakan hukum pada pelanggar, baik dari faksi perusahaan atau lembaga pemerintahan yang lupa,” katanya.
Karenanya, Iwang mengatakan penting ada reformasi lengkap atas tata urus pertambangan Jawa barat, termasuk penilaian ijin-izin yang telah keluar, kenaikan kemampuan pemantauan pemerintahan, dan keterkaitan warga dalam pemantauan lingkungan hidup.