Gladhen Jemparingan: Adat yang Menjaga Jiwa dan Budaya

Langit Kota Cirebon hampir tidak berawan saat beberapa ratus pemanah tradisionil duduk bersila rapi di atas karpet merah yang diadakan di Alun-alun Kejaksan, Kota Cirebon, Sabtu (12/7) siang. Dengan bebatan baju tradisionil, beberapa pemanah bergabung untuk ikuti Gladhen, sebuah gelaran tes kekuatan pada dunia olahraga jemparingan.
Udara siang itu berasa hangat. Jejeran busur kayu dipegang kuat oleh beberapa peserta. Mereka siap-siap mengincar bandulan, sebuah target kecil warna putih dan merah yang digantung sepanjang beberapa puluh mtr..

Antara beberapa peserta yang berjejer, Ridwan duduk dengan tenang. Dia kenakan pakaian tradisionil ciri khas Jawa; pakaian lurik, kain batik dan blangkon sebagai penutup kepala.

Ridwan terlihat konsentrasi. Tatapan matanya tajam mengincar bandulan sebagai sasaran target. Tanpa banyak berbicara, dia mulai menarik tali busur untuk melejitkan anak panah.

Tetapi, anak-anak panah yang dilesatkannya belum berkenaan target. Ridwan masih tetap tenang. Untuknya, dalam gelaran ini dia tidak memburu kemenangan. Kesertaannya ini sebagai usaha untuk melestarikan olahraga jemparingan.

“Sementara tidak ada yang terkena barusan. Ini aku kembali memprediksi posisi yang baik. Tetapi aku tidak memburu kemenangan. Aku cuma ingin melestarikan sama bersilahturahmi sama beberapa teman. Jika menang itu cuma bonus,” kata Ridwan.

Dalam pada itu, dari bagian lain lapangan, suara kerincingan seringkali kedengar. Suara itu sebagai pertanda jika ada banyak peserta lain sukses melejitkan anak panah yang pas berkenaan bandulan.

Ridwan adalah peserta yang tiba jauh dari Yogyakarta. Dia menyengaja menyempatkan diri tiba ke Kota Cirebon untuk ikuti Gladhen Jemparingan.

Telah 3 tahun Ridwan menekuni olahraga tradisionil ini. Menurut dia, jemparingan adalah olahraga yang bukan hanya memercayakan kemampuan fisik, tetapi memerlukan ketenangan dan fokus.

“Jadi di tempat ini ada olahraga, olah rasa dan olah jiwa. Memang ketiganya harus ada. Andaikan stamina kita oke, tetapi rasa kita kembali tidak bagus atau pemikirannya kembali tidak tenang, itu dampak,” kata Ridwan.

“Memang stamina harus bagus dan perlu konsentrasi, agar dapat mengincar target secara baik,” tambahnya.

Konservasi Panahan Tradisionil
Situasi di Alun-alun Kejaksan siang itu dipenuhi dengan beberapa pemanah dari beragam wilayah. Mereka tampil dengan bebatan baju tradisionil ciri khas wilayah masing-masing.

Gladhen Jemparingan menjadi satu diantara serangkaian acara untuk menyemarakkan Hari Jadi ke-598 Cirebon. Beberapa ratus peserta mengambil sisi pada aktivitas ini.

Ketua Panitia Hari Jadi Cirebon, Iing Daiman, menyebutkan beberapa peserta itu tiba dari 5 propinsi di Indonesia. “Keseluruhan ada sekitaran 250 peserta. Beberapa peserta ini asal dari lima propinsi. Ada yang dari Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur, DIY (Wilayah Spesial Yogyakarta), dan Banten,” jelas Iing.

Menurut Iing, selainnya untuk menyemarakkan Hari Jadi ke-598 Cirebon, Gladhen Jemparingan ini diadakan sebagai usaha untuk melestarikan olahraga panahan tradisionil ini. “Tentu saja ini sebagai usaha pemerintahan Kota Cirebon dan pemerintahan kabupaten atau kota yang lain untuk melestarikan panahan tradisionil.

Iing menerangkan olahraga panahan ini mempunyai kekhasan tertentu, khususnya dari segi baju yang dikenai oleh beberapa peserta. Dalam olahraga jemparingan, tiap pemanah tampil dengan baju tradisi tradisionil ciri khas wilayah masing-masing.

“Dan langkah memanahnya pun tidak bisa berdiri, tapi harus sekalian sila. Ini antiknya,” kata Iing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *