Catatan 2024: Antiklimaks Kasus Vina Cirebon dan Penelusuran Keadilan yang Belum Selesai

Kasus pembunuhan Vina di Cirebon, Jawa Barat, memberi warna mass media dan sosial media pada 2024. Beragam faksi juga menuntut keadilan dalam kasus 8 tahun lalu ini. Tetapi, kasus ini usai antiklimaks sesudah Inspeksi Kembali atau PK terpidana ditampik Mahkamah Agung.

Isak tangis menyelimutinya ruang tatap muka dalam satu diantara hotel di Kota Cirebon, Senin (16/12/2024). Ratapan itu tiba dari bagian keluarga, famili, dan kuasa hukum terpidana kasus pembunuhan Vina. Mereka berduka sesudah dengar keputusan Mahkamah Agung.

Informasi keputusan MA yang ditayangkan langsung lewat online itu menjawab permintaan inspeksi kembali atau PK oleh tujuh terpidana dan seorang mantan terpidana kasus Vina. Awalnya, mereka dijatuhi vonis bersalah sudah membunuh Vina dan Muhammad Rizky pada 2016.

Ke-7 terpidana, yakni Jaya, Supriyanto, Eka Kode, Eko Ramadhani, Hadi Saputra, Sudirman, dan Pesaingdi Aditya Wardana. Mereka dijatuhi vonis penjara sepanjang umur. Adapun seorang mantan terpidana, yaitu Saka Tatal, dijatuhi vonis 8 tahun penjara dan sudah bebas murni bulan Juli 2024.

Dalam keputusannya, MA menampik PK mereka. “Bukti baru atau novum yang disodorkan bukan bukti baru seperti ditetapkan oleh Pasal 263 Ayat (2) huruf a Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” kata Juru Berbicara MA yang Hakim Agung Yanto.

Menurut Yanto, MA menampik pengajuan PK karena tidak temukan kondisi baru (novum) dan kekeliruan hakim dalam mengaplikasikan hukum pada keputusan sebelumnya. “Dengan ditampiknya permintaan PK beberapa terpidana itu, keputusan yang dimohonkan PK masih tetap berlaku,” katanya.

Mimpi terpidana untuk bebas dari penjara sepanjang umur juga sirna. “Mereka mengharap dapat pulang, dapat bebas, dapat diwujudkan PK-nya. Kami bersedih bukan lantaran (pikirkan) kami yang di luar, tetapi karena (pikirkan) yang dalam,” kata Aminah (40), kakak Supriyanto.

Nurhayati (54), ibu terpidana Eko, tidak dapat meredam tangis waktu ketahui PK anaknya ditampik. “Kemarin, aku bertemu Eko. Ucapnya, ingin pulang , telah tidak kerasan di penjara. Aku katakan, sejengkal kembali (bebas). Eh, rupanya, disepak seperti bola,” katanya.

Walau sebenarnya, dia dan keluarga merasa menanggung derita semenjak Eko di penjara 2016. Dalam 4 tahun akhir, contohnya, dia harus bolak kembali rumah sakit 2x seminggu untuk bersihkan darah karena hipertensi dan penyakit lambung. Tonjolan karena jarum suntik pada tangannya menjadi pertanda.

Nurhayati dan suami tidak lagi berjualan di pasar karena repot jalani penyembuhan dan mengurusi Eko. Dia juga sebelumnya sempat rahasiakan penyakitnya. Dia tidak mau menambahkan beban pikiran si anak. Untuknya, kebebasan Eko ialah obat manjur. Tetapi, keinginan itu belum diwujudkan.

Asep Kusnadi, ayah terpidana Pesaingdi, juga terpukul sesudah MA menampik PK beberapa terpidana. Dia tundukkan kepala dan menangis. “Aku perlu keadilan. Tahu tidak? Bukan omong kosong. Apa aku perlu berpindah ke negara seseorang agar dapat keadilan?” ucapnya sekalian histeris.

Walau sebenarnya, menurut gagasan, anaknya menikah bila bebas sesudah pengajuan PK diwujudkan. Bahkan juga, pada Rabu (11/12/2024) lantas, lamaran Pesaingdi dengan seorang wanita asal Kalimantan Timur diadakan terbatas di Instansi Pemasyarakatan Kelas I Kesambi Cirebon.

“Acara tunangannya gunakan bertukar cincin,” katanya. Asep tidak mau buka jati diri tunangan anaknya karena beberapa argumen. Tetapi, ucapnya, ke-2 nya telah sama-sama contact dua bulan akhir, saat saat persidangan PK. Wanita itu mengenali anaknya dari monitor tv saja.

“Ucapnya, ia kasihan sama Pesaingdi dan ingin kenalan. Kemudian, mulai kontak-kontakan melalui telephone di penjara,” tutur Asep.

Tetapi, gagasan menikah itu terancam tidak berhasil sesudah MA menampik PK terpidana. Dia tidak tahu kembali bagaimana seterusnya. Tentunya, anaknya masih juga dalam jeruji besi.

Saat sebelum gagasan pernikahan Pesaingdi, Hadi, terpidana yang lain, telah terlebih dahulu tidak berhasil nikah karena berkaitan kasus Vina. Perkawinannya gagal sekitaran 10 hari saat sebelum diadakan September 2016. Walau sebenarnya, undangan dan mahar sudah dipersiapkan. Calonnya juga sudah menikah sama orang lain.

Bencana hukum
Jutek Bongso, perwakilan kuasa hukum beberapa terpidana, menghargai keputusan MA yang menampik PK client-nya. Tetapi, faksinya memandang, keputusan itu belum memberi keadilan, khususnya untuk pemohon. “Secara kuasa hukum, (penampikan PK) ini bencana hukum buat Indonesia,” bebernya.

Dia menyebutkan keputusan itu sebagai bencana hukum karena beberapa terpidana semestinya tidak bersalah, tapi dijatuhi vonis penjara, bahkan juga sepanjang umur. Selainnya kuasa hukum pemohon, ucapnya, public menyangsikan pengatasan kasus 8 tahun ini sejak awal kali.

Kasus ini bermula saat masyarakat temukan Vina dan Rizky tergeletak di Jembatan Layang Talun, Kabupaten Cirebon, Sabtu (27/8/2016) malam. Awalannya, polisi menyangka kematian ke-2 nya karena kecelakaan tunggal. Jasad ke-2 remaja berumur 16 tahun itu juga sudah disemayamkan.

Namun, ada beberapa keganjilan, seperti sepeda motor korban tidak alami kerusakan kronis. Rudiana, ayah Rizky yang anggota Unit Reserse Narkoba Kepolisian Resort Cirebon Kota waktu itu, juga mempelajari kasus ini. Dia memandang kematian anaknya tidak lumrah.

Dari saksi Aep dan Dede, Rudiana akui mendapatkan informasi, anaknya dilempar dan dikejar oleh geng motor yang sering kumpul di muka SMPN 11 Kota Cirebon. Bersama beberapa anggotanya, dia tangkap beberapa terdakwa pada 31 Agustus 2016, empat hari sesudah peristiwa.

Polisi juga menyebutkan korban dibunuh oleh geng motor, yang ramai di Cirebon saat tersebut. Masyarakat sebelumnya sempat geram, bahkan juga berunjuk rasa supaya aktor dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Walau sebelumnya sempat ajukan banding dan kasasi, beberapa tersangka masih tetap dijatuhi vonis bersalah oleh hakim.

8 tahun berakhir, kasus ini muncul lagi bersamaan tayangnya film Vina: Saat sebelum 7 Hari di bioskop pada 8 Mei 2024. Dengan juta-an pemirsa, film produksi Dee Company ini trending. Film ini juga buka tirai tiga buronan kasus Vina, yaitu Pegi alias Perong, Dani, dan Andi.

Sekitaran dua minggu sesudah film itu tampil, Kepolisian Wilayah Jawa barat tangkap Pegi Setiawan yang diperhitungkan sebagai Perong. Ketika yang masih sama, polisi hapus Andi dan Dani pada daftar penelusuran orang karena dipandang sebagai figur fiktif berdasarkan penjelasan beberapa saksi.

Tidak terima, Pegi Setiawan ajukan tuntutan praperadilan ke Pengadilan Negeri Bandung. Pada 8 Juli 2024, hakim tunggal Eman Sulaeman merestui tuntutan tersebut. Pekerja bangunan asal Cirebon itu pada akhirnya dibebaskan dan penyelidikan kasus Vina pada Pegi disetop.

Sesudah Pegi bebas, kebimbangan public atas kasus ini makin bertambah besar. Beberapa ratus masyarakat melangsungkan doa bersama memberikan dukungan kebebasan terpidana. Di sosmed, support sama terlihat. Perhimpunan Pengacara Indonesia (Peradi) juga menemani beberapa terpidana ajukan PK.

Sekitaran 3 bulan, kuasa hukum pemohon mendatangkan beberapa puluh saksi, pakar, dan bukti yang lain. Dede dan Liga Besar, saksi dalam kasus Vina, contohnya, akui memberi kesaksian palsu jika mereka menyaksikan terpidana saat peristiwa. Walau sebenarnya, sebetulnya, mereka tidak paham masalah tersebut.

Beberapa terpidana juga mengutarakan jika mereka disiksa polisi supaya akui sebagai aktor. Bukan hanya dipukul, mereka bahkan juga disetrum sampai dipaksakan minum air kencing. Polisi menolak pernyataan terpidana yang dikatakan di ruangan persidangan PK tersebut.

Peradi mendatangkan hasil ekstraksi pembicaraan Vina dengan partnernya, Sabtu (27/8/2016) jam 22.14 WIB. Dalam komunikasi itu, tidak ada tanda-tanda Vina terancam. Walau sebenarnya, berdasar keputusan pengadilan, pemburuan korban berjalan jam 21.00 WIB.

“Kami ajukan saksi yang menyaksikan jika (kematian Vina) itu ialah kejadian kecelakaan, bukan pembunuhan. Ini tidak pernah disingkap,” tutur Jutek. Beragam bukti itu, ucapnya, ialah novum yang tidak pernah disodorkan pada persidangan sebelumnya.

Meskipun begitu, perjuangan Peradi yang dipegang Otto Hasibuan, sekarang memegang Wakil Menteri Koordinator Sektor Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan itu belum sanggup melepaskan beberapa terpidana. Jutek memiliki komitmen akan tempuh cara hukum yang lain.

“Kami dapat meminta ke presiden untuk grasi, abolisi, dan lain-lain. Selanjutnya, dapat (ajukan) PK ke-2 . Kami saksikan dahulu cara hukum apa yang terbaik,” katanya. Tetapi, ucapnya, client-nya tidak mau ajukan grasi karena harus mengaku perlakuannya.

“Mereka mengatakan lebih baik mereka dalam lapas dan membusuk di penjara (dibanding akui sebagai aktor),” katanya. Faksinya juga tetap membahas cara hukum seterusnya untuk cari keadilan untuk terpidana.

Kebalikannya, satu diantara kuasa hukum keluarga Vina, Raden Reza Pramadia, menghargai keputusan MA yang menampik PK beberapa terpidana.

“Kami mengucapkan terima kasih ke beberapa penegak hukum yang semuanya sudah jalankan jatahnya masing-masing,” katanya,

Keputusan MA itu, ucapnya, memperkuat jika client-nya adalah korban pembunuhan, bukan kecelakaan. Dia menyilahkan faksi terpidana tempuh cara hukum seterusnya bila tidak senang. “Tetapi, kita harus menghargai keputusan yang telah final dari Mahkamah Agung,” katanya.

Rekam jejak lembaga
Toni RM, pegiat hukum yang bekas advokat Pegi Setiawan, memandang ganjil penampikan PK. Dia mengharap keputusan MA bukan membuat perlindungan lembaga penegak hukum. “Aku menyangka jangan-jangan pemikirannya dibikin semacam itu, menjaga (rekam jejak) tiga lembaga,” ucapnya.

Lembaga yang diartikan ialah kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Menurutnya, penganiayaan pada terpidana sampai tidak ada bukti ilmiah, seperti camera pemantau (CCTV), membuat sangsi dengan pengatasan kasus ini pada tingkat kepolisian sampai pengadilan.

Nandang Sambas, Guru Besar Pengetahuan Hukum Kampus Islam Bandung, memandang lumrah bila public skeptis melihat keputusan MA menampik PK tersebut. Apalagi, keputusan ini tersangkut rekam jejak tiga lembaga dalam tangani kasus Vina.

“Resiko keputusannya jika (PK) diwujudkan, kan, akan bawa imbas jika sejauh ini ada suatu hal yang salah. Apalagi, ada banyak kasus yang semacam itu,” katanya. Satu diantaranya kasus Sengkon dan Karta, petani yang sebelumnya sempat dipenjara, walau sebenarnya tidak bersalah.

“Semoga, pemikiran (menampik PK terpidana) bukan lantaran cemas (keputusannya) kelak implementasinya ke lembaga. Penegakan hukum itu jangan mempertaruhkan orang yang tidak bersalah. Apalagi, dengan dasar selamatkan (integritas) lembaga,” kata Nandang.

Keputusan MA yang menampik PK terpidana sudah final. Tetapi, walau tertatih-tatih, perjuangan mereka untuk cari keadilan belum selesai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *